English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 09 Agustus 2011

Tahlil Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah

Oleh : al-Ustadz al-Fadlil Ali Asyhar
Ketua PC. Lakpesdam NU Bawean & Dosen UNSURI Hasan Jufri

1. MUQADIMAH

Tahlil adalah shighat masdar dari fi’il madly hallala yuhallilu tahlilan yang berarti membaca kalimat La ilaha illallah (tiada tuhan yg berhak disembah kecuali Allah). Tahlilan adalah kegiatan yg tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Disamping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi yg paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media keagamaan dan alat pemersatu umat.

Hal ini didasarkan pada beberapa kenyataan sebagai berikut:

1. Secara historis,keberadaan tahlil di Indonesia sudah ada jauh sebelum munculnya berbagai organisasi keagamaan baik yg mendukung atau menolaknya. Pada mulanya tradisi yg sarat dengan tasawuf ini dilakukan di pesantren dan kraton ,namun lambat laun dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia sehingga menjadi tradisi keagamaan yg tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat.

2. Munculnya konflik keberterimaan tahlil oleh berbagai kelompok yg menolaknya sebenarnya hanya terjadi pada tingkat elit kelompok tersebut. Sementara ditingkat bawah tradisi tahlil tetap dilaksanakan, baik oleh massa dari kelompok yg membolehkannya juga massa dari kelompok yg membid’ahkannya.

3. Tahlil merupakan tradisi yg memiliki dimensi ketuhanan (Hablun minallah) yg mampu memberikan siraman rohani,ketenangan,kesejukan dan peningkatan keimanan juga memiliki dimensi social (Hablun minannas) yg mampu menumbuhkan rasa persaudaraan,persatuan dan kebersamaan. Keyakinan seperti itu jelas-jelas diungkapkan oleh masyarakat muslim dari berbagai golongan baik kaum konservatif, modernis, dan abangan.

4. Tahlil adalah masalah khilafiyah sehingga seharusnya tidak menjadi penghalang akan kebersamaan dan persatuan umat islam terutama untuk menegakkan ukhuwah islamiyah.2

2. BEBERAPA PERSOALAN DALAM ACARA TAHLIL
1. Dasar pengkhususan bacaan al-Fatihah
Pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada orang yg meninggal. Sedangkan surat al-Fatihah adalah bagian dari al-Qur’an. Syaikh Usamah Sayyid menyatakan : “Cukuplah dalam penetapan pembenaran membaca surat al-Fatihah dan yg lainnya untuk orang yg meninggal dunia adalah berdalil kepada Hadits Bukhari bahwa Nabi SAW bersabda kepada A’isyah “ Andaikata hal itu terjadi (A’isyah meninggal dunia),dan aku masih hidup,kemudian aku memohonkan ampunan dan membaca do’a untuk kamu”. Pusat pembahasan pada hadits ini adalah “ dan aku berdo’a untuk kamu”. Kalimat ini meliputi do’a dan lainnya. Maka termasuk pula do’anya seorang laki-laki setelah membaca al-qur’an yg pahalanya diberikan kepada mayyit”. (Al-Qardlawi fi al-‘Ara,232).

Surat al-Fatihah digambarkan oleh Nabi SAW sebagai cahaya yg gemerlapan yg belum pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelum Rasulullah SAW. Dari Ibnu Abbas,ia berkata : “ Ketika malikat Jibril duduk bersama nabi SAW beliau mendengar suara pintu terbuka dari atasnya. Kemudian Nabi SAW menengadahkan kepala. Malikat Jibril berkata:” Pada hari itu pintu langit dibuka dan belum pernah dibuka sebelumnya. Malaikat turun ke bumi yg tidak pernah turun kecuali hari ini. Ia kemudian mengucapkan salam kepada Nabi SAW seraya berkata “ Bergembiralah engkau (Muhammad SAW) dengan dua cahaya yg diberikan kepadamu dan belum pernah diterima oleh nabi sebelummu,yakni surat al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir surat al-Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau akan diberi imbalannya. ( Shahih Muslim, 1339).
2. Istilah “tujuh hari” dalam tahlil
Asal usul kata “Tujuh hari” adalah mengikuti amal yg dicontohkan oleh para sahabat Nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab Al-Zuhd,sebagaimana yg dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi : “ Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “ Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan,ia berkata “ Imam Thawus berkata,” Orang yg meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf men-sunnahkan bersedekah makanan untuk orang yg meninggal dunia selama tujuh hari itu” ( Al-Hawi li Al-Fatawi,juz 2, 178 ).

Jadi tahlilan bukan termasuk nihayah yg dilarang oleh agama. Nihayah adalah memperlihatkan kesedihan yg melewati batas seperti menangis sambil menjerit, berbicara tidak karuan, memukul kepala, pipi, dan dadanya sendiri, menggunakan busana yg tidak pantas, membanting piring dan sebagainya.
3. Memperbanyak bacaan La ilaha illallah.
Rasulullah sangat menganjurkan untuk memperbanyak membaca tahlil dengan bilangan yang banyak. Beliau bersabda “ dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda “ Perbaruilah iman kalian.” Para sahabat bertanya “ Bagaimana cara kami memperbarui ikan kami ya Rasulallah?” Rasulullah SAW menjawab “ Perbanyaklah membaca la ilaha illallah”. (Musnad Ahmad bin Hanbal, 8353).

Dari Abi Dzar RA,” Aku berkata kepada Rasulullah SAW,” Ya Rasulallah,berilah aku wasiat. Beliau bersabda apabila engkau berbuat keburukan, hapuslah dengan kebaikan.Abu Dzar bertanya apakah termasuk kebaikan membaca La ilaha illallah? Rasulullah SAW menjawab (benar) ia adalah paling utama kebaikan”.(Musnad Ahmad bin Hanbal, 20512).
4. Berkumpul sambil membaca al-Qur’an dan dzikir.
Berkumpul sambil membaca al-Qur’an dan berdzikir bersumber dari hadits shahih yaitu “ dari Abi Hurairah RA ia berkata,” Rasulullah SAW bersabda”Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah SWT sambil membaca al-Qur’an bersama kecuali Allah SWT akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para malaikat dan Allah SWT memujinya di hadapan makhluk yg ada di sisiNya” (Sunan Ibnu Majah,221).

Pahala bacaan al-Qur’an serta dzikir akan sampai kepada orang yg meninggal tanpa ada keraguan sedikitpun. Rasulullah SAW bersabda ”Bacakanlah surat Ya Siin atas orang yg telah meninggal dari golongan kamu semua”. Ukhuwah islamiyah tidak menjadi putus karena kematian. Orang yg telah meninggal akan merasakan manfaat dari bacaan al-Qur’an dan dzikir yg ditujukan kepadanya. Apakah hadits Rasulullah SAW ini tidak bertentangan dengan firman Allah SWT” Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh sesuatu selain apa yg telah diusahakannya” (QS.Al-Najm,39) ? Sungguh,persolan ini telah dijawab dengan tuntas oleh para ulama, diantaranya: Ibnul Qayyim al-Jauzi,al-Syaukani,Sulaiman al-‘Ajili,Hasanain Muhamad Makhluf dan Muhamad al-‘Arabi. Diantara sekian banyak penjabaran itu yg paling sederhana adalah tafsir dari Abi al-Wafa’ al-Hanbali.” Jawabannya yg paling baik menurut saya,bahwa manusia dengan usahanya sendiri,juga karena pergaulannya yg baik dengan orang lain,ia akan memperoleh banyak teman,melahirkan keturunan,menikahi perempuan,berbuat baik serta menyintai sesama. Maka semua temannya,keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya. Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”. (al-Ruh, 145)

3. PENDAPAT MU’TAZILAH

Yang berpendapat bahwa hadiah pahala itu tidak sampai kepada orang yg meninggal dunia adalah ahlu bid’ah dan kaum mu’tazilah. Ibnu al-Qayyim menyatakan “ Para ahli bid’ah dari kalangan ahli kalam berpendapat bahwa pahala baik berupa do’a atau lainnya sama sekali tidak sampai kepada orang yg telah meninggal dunia” (al-Ruh,117). Imam al-Syaukani menambahkan “ Terjadi perbedaan pendapat mengenai persoalan sampai tidaknya pahala selain sedekah kepada orang yg telah meninggal dunia. Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa pahala selain sedekah tidak sampai” (Nail al-Aithar,IV,142)

4. PENDAPAT IMAM SYAFI’I

Muhammad Ahmad Abdissalam menyatakan bahwa “ menurut pendapat yg masyhur dari madzhab Syafi’I serta segolongan dari ashhab al-Syafi’I bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak sampai kepada mayit (Hukmu al_qira’ah Li-Amwat,18-19). Menyikapi pernyataan ini salah seorang tokoh Syafi’iyah,yakni Zakariya al-Anshari menyatakan “ Sesungguhnya pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafi’I mengenai pembacaan al-Qur’an adalah apabila tidak dibaca di hadapan mayit serta pahalanya tidak diniatkan sebagai hadiah,atau berniat tetapi tidak dido’akan”(Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah Fi Ma’tam al-Arbain,43). Hal ini didasarkan pada pernyataan imam Syafi’I “ Disunnahkan membaca sebagian ayat al-Qur’an di dekat mayit,dan lebih baik jika mereka (pelayat) membaca al-Qur’an sampai khatam.(Dalil al-Falihin,IV,103). Dan banyak riwayat yg menyatakan bahwa Imam Syafi’I berziarah ke makam Laits bin Sa’ad dan membaca al-Qur’an di makam tersebut.”Sudah popular diketahui banyak orang bahwa Imam Syafi’I pernah berziarah ke makam Laits bin Sa’ad. Beliau memujinya dan membaca al_Qur’an sekali khatam di dekat makamnya. Lalu ia berkata ”Saya berharap bahwa hal ini senantiasa berlanjut dan terus dilakukan”(Al-Dakhirah al-Tsaminah,64).

Ra’yi shawab yahtamilu al-khatha’ wara’yu ghairi khatha’ yahtamilu al-shawab

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan Kritik dan Saran Anda